Rani
3 min readDec 2, 2023

--

09:57.

Arin’s cutting it close with the time and she knows it. Tetap saja begitu Ia melihat Hisyam menunggunya di depan ruangan, mengenakan kemeja polo-shirt dan chino hitam, Ia tidak bisa menahan diri untuk sarkas. “Nggak usah ngatur, bisa? Gue mandiri kali.”

Hisyam menggelengkan kepalanya, “I’m not letting you walk into a lion’s den by yourself.”

And why would you care?”

We’ll find out. Yuk,” jawab Hisyam mudah sebelum masuk ke dalam ruangan yang tertera dalam undangan.

Ada pressure yang Arin nggak bisa gambarkan dengan kata-kata di dalam ruangan itu. Semua mata langsung tertuju kepada mereka berdua begitu Ia masuk, tapi terutama dirinya. Arin berusaha mengidentifikasi siapa saja yang ada di dalam ruangan itu: orang tua Hisyam, Hilman kakaknya, tante dan omnya Hisyam yang Arin nggak terlalu sering bertemu, dan tentu saja Bang Juna dan Gibran. Dan mereka semua memandangnya, Arin bisa membaca ekspresi sebagian besar dari mereka terkejut.

Ah, lion’s den beneran.

“Baik, karena semua ahli waris telah hadir, kami akan memulai pembacaan wasiat dari Almarhumah Rosita Suwardana,” mulai Arjuna. “Aset Almarhumah meliputi sebuah rumah di Kebayoran yang beliau miliki secara penuh, investasi dan deposito dalam dolar amerika dan rupiah sebesar 2 triliun rupiah dalam berbagai akun, dan 40% kepemilikan saham perusahaan Suwardana. Sebelum pembacaan wasiat, Almarhumah meminta saya untuk membaca surat berikut:

“Kepada anak-anakku, Martin, Samuel, dan Vanessa. Serta cucuku yang aku sayangi, Hilman, Hisyam, Maudy, Belinda, dan Aretha. Dan tentu saja, yang aku cintai seperti darahku sendiri, Arini Nareswari.”

Arin merasakan gerak-geriknya semakin diperhatikan, ruangan itu terasa lebih dingin dari sebelumnya. Ia memandang Gibran untuk mencari jawaban, namun laki-laki itu berkutat dengan dokumen yang ada di depannya. Sedangkan, tatapan Hisyam lurus kepada Arjuna, seakan menunggu.

“Beberapa dari kalian mungkin akan terkejut dengan keputusan yang aku ambil di sini. Saya tidak senang membuat keputusan yang tidak melibatkan beberapa dari kalian dan saya tidak bermaksud memulai keributan dalam keluarga ini. Saya harap keputusan saya diterima dengan baik dan tanpa rasa mengganjal. Ini untuk yang terbaik. Tertanda tangan, Rosita Suwardana.”

Arjuna meletakkan surat tersebut di meja dan menerima amplop tertutup dari Gibran, membukanya menggunakan pisau surat dengan gerakan yang luwes. Suara kertas memenuhi ruangan kecil itu, Arin rasa tidak ada satupun yang dapat bernapas, semuanya mengantisipasi hasil pembacaan wasiat nenek.

“Saya Rosita Suwardana, dengan akal dan tubuh yang sehat dan tanpa tekanan dari pihak manapun, dengan ini mengarahkan semua aset saya baik cair maupun dalam bentuk lainnya, kepada Hisyam Suwardana dan Arini Nareswari. Seluruh kepemilikan saham saya, saya tinggalkan sepenuhnya kepada Hisyam Suwardana dan Arini Nareswari. Begitu juga, rumah di Jl. Cikatomas II No. 31 saya tinggalkan sepenuhnya kepada Hisyam Suwardana dan Arini Nareswari.”

Satu ruangan itu terdiam, hingga ayah Hisyam angkat suara, “Omong kosong!“

“Pi,” ucap Hisyam.

“Keluarga anak ini,” Martin Suwardana menunjuk Arini, “Mencelakakan perusahaan keluarga kami sepuluh tahun yang lalu, pasti ada kesalahan!”

“Tenang dulu, pi,” Hilman, kakak kandung Hisyam, angkat bicara. “Kita coba dengarkan dulu.”

“Warisan ini akan saya serahkan dengan syarat Hisyam Suwardana dan Arini Nareswari melangsungkan pernikahan yang sah secara agama dan negara dalam jangka waktu satu tahun dari wasiat ini dibacakan,” lanjut Arjuna. “Jika tidak, seluruh aset saya akan dilelang dengan keuntungannya disumbangkan kepada organisasi yang saya tunjuk dalam surat ini. Saya juga meninggalkan surat pribadi untuk Hisyam Suwardana dan Arini Nareswari yang terlampir dengan dokumen ini.”

Giliran Arini yang terbelalak. Ia bertukar pandang dengan Hisyam, yang terlihat sama bingungnya dengannya. It’s one thing to receive all your grandmother’s inheritance, it’s another thing entirely kalau harus dengan syarat menikah.

“Kepada anak-anak saya, Martin, Samuel, dan Vanessa Suwardana, saya tinggalkan uang tunai masing-masing satu juta rupiah. Kepada cucu-cucu saya, Hilman, Maudy, Belinda, dan Aretha, juga saya tinggalkan uang tunai masing-masing satu juta rupiah.

“Sekian saya sampaikan secara sadar dan tanpa paksaan, Rosita Suwardana.”

Kalau dibilang ada sebuah keributan, ya, anggap saja itu bahkan tidak dapat menggambarkan kekacauan yang terjadi di ruangan tersebut. Hisyam tidak melepaskan tangan Arin hingga mereka sampai di mobilnya, jauh dari tensi yang ada di antara keluarganya.

--

--