The Night We Met

Rani
2 min readMar 5, 2024

Kalau Adila boleh jujur, dia nggak yakin punya kemampuan berinteraksi dengan laki-laki dalam konteks percintaan. Pasalnya, Adila punya sejarah pacaran yang lebih pendek dari perempuan berumur 25 tahun kebanyakan.

Ketika teman-temannya kenal pacaran waktu SMP, Adila sibuk berfantasi dengan komik romansa shoujo yang nggak realistis sama sekali. Menginjak jenjang SMA, masalah percintaan Ia kesampingkan untuk mengkhawatirkan masuk kuliah. Kuliah merupakan titik balik ketika Adila menjalin percintaan yang cukup serius. Sayangnya, hubungan itu kandas setelah 3 tahun karena mantannya selingkuh. Setelah itu, ada satu dua orang yang sempat Ia tiduri, tapi tidak pernah serius. Selalu Ia buang ketika mereka meminta lebih karena merepotkan harus mengurus laki-laki di tengah pekerjaannya yang padat.

Kalau Adila bertemu dengan Adrian pun, apa yang Ia mau? Seks? Hubungan serius? Setidaknya ketika Ia berkenalan dengan mahasiswa undergrad di bar, Adila tahu mereka tidak akan serius. Kalau dengan mahasiswa Indonesia yang sama-sama menempuh studi S2 biasanya lebih serius, tapi ketidakpastian pasca-studi berarti kebanyakan hubungan itu berakhir ketika salah satunya pulang ke Indonesia. Tapi pegawai kementerian? Jabatan dan umur Adrian memberikan indikasi Ia sedang mencari istri, tapi orang mana yang mencari istri di Tinder?

Lalu Adrian masuk ke restoran itu dan Adila lupa dengan khawatirnya.

Laki-laki itu tersenyum begitu melihatnya duduk di dekat jendela, mengenakan puffer jacket Kathmandu di atas kemeja abu-abu dan chino berwarna hitam. “Hey, nggak lama nunggu kan? Sorry ya harus nungguin jadinya,” Ia menyapa Adila.

Gila, parfumnya wangi banget.

“Eh, nggak kok mas, aku yang kecepetan tadi,” Adila berdiri, canggung.

Adrian langsung tertawa, “Beneran manggil gue pake mas ini? Nggak usah sopan-sopan banget lah, pake aku lagi.”

Wajah Adila memerah, “Ih nggak tau, lo aura dipanggil mas soalnya.”

“Duduk aja, Dil,” Adrian mengingatkan.

Hal itu menyadarkan Adila bahwa mereka berdua sedang berdiri canggung di restoran itu, sudah seperti acara formal di mana Ia harus menunggu bosnya duduk. “Sorry, sorry,” kata Adila cepat-cepat. “Um, lo nyetir ya ke sini?”

“Iya, gue tinggal di Phillip soalnya,” jawab Adrian seraya duduk di depan Adila. Ketika Adila terlihat bingung, Ia menambahkan, “Deket Watson? Di Selatan pokoknya.”

“Oh? Eh, sorry banget, jauh dong ke sini,” kata Adila.

“Stop apologizing, sejauh-jauhnya Canberra nggak sejauh itu sih, Dil,” balas laki-laki itu, tersenyum. “So how was your day? Udah selesai choresnya?”

“Udah dong,” senyum Adila. “Gue tadi udah order minuman sih, masih mikir mau makan apa tapi.”

“Kita di tempat pho, masa makan nasi goreng?” cengir Adrian.

“Ya pho kan banyak ya, mas,” Adila memutar matanya. Ia kembali melihat menu makanan yang sudah Ia baca jauh dari sebelum Adrian tiba, rasanya Ia sudah menghafal semua makanan di buku menu itu. Tapi semua lebih baik dari menatap wajah Adrian.

“Ini lo beneran bakal manggil gue mas seterusnya?” Tanyanya, masih menatap wajah Adila.

“Maybe? Emang maunya dipanggil apa?”

“Sayang?”

Adila mendelik, “Garing.”

--

--