Rani
2 min readDec 30, 2023

--

Tidak ada tanda-tanda kehidupan di apartemen satu kamar tidur yang dihuni Adri ketika Dzaky masuk. Yah, tanda-tanda kehidupan manusia sih, soalnya Ucok langsung menghampirinya dengan antusias begitu pintu dibuka.

“Hai sayang, Kak Adri di mana?” Tanya Dzaky, jongkok untuk mengelus anjing ras bull terrier itu. Ucok memang attached ke Dzaky, masih sibuk menciumi wajah anak laki-laki itu. “Kakak kamu di mana, hei,” Dzaky terkekeh.

Sesungguhnya Dzaky sudah merasa lebih tenang sedikit ketika Ucok menyambutnya di pintu. Ras bull terrier mungkin tampangnya bodoh, tapi mereka juga guard dog yang tangguh dan terlatih. Kalau Ucok tidak langsung “mengadu” kepadanya, ya berarti tidak ada campur tangan orang jahat di sini. Dan tentu saja, seakan paham, Ucok langsung menggiring Dzaky ke pintu kamar Adri yang terbuka. Perempuan itu terbiasa tidur dengan pintu kamar yang terbuka, belum sempat memasang pintu anjing di apartemennya itu, dan benar saja Dzaky menemukan kakak sepupunya itu terkapar di tempat tidur.

“Kak,” Dzaky pelan-pelan mendekati figur Adri, takut mengagetkannya. “Kak Adri, kak, kakak nggak apa-apa?” Ia berusaha membangunkan perempuan itu. Kalau Dzaky bukan mahasiswa kedokteran pun, sudah tahu kalau Adri demam tinggi hanya dengan sentuhan di dahinya. “Kak, udah minum obat belum? Kak Adri,” Ia mengguncang tubuh Adri pelan.

“Hm?” Sahut Adri, masih berat dengan tidur. Butuh beberapa saat baginya untuk membuka mata, “Dzak? Kok…,” Ia terhenti, tidak dapat melanjutkan kalimatnya.

“Lo sakit, kak,” tutur Dzaky. “Ucok udah makan? Kita ke rumah aja ya, nggak ada yang jagain kakak di sini,” tambahnya. “Ada stok obat nggak?”

“Kamarnya… muter…,” rintih Adri.

Dzaky menghela napas panjang. Bisa sih, Ia cari sendiri. Tapi kalau demamnya cukup tinggi sampai kamarnya muter, sepertinya nggak ada pilihan selain pergi ke dokter kalau mau aman.

Yah, minimal harus mengabari ibunya dulu.

--

--