Rani
3 min readDec 5, 2023

--

Perempuan brengsek, nggak puas kamu merusak reputasi keluarga saya?

Tidak tahu terima kasih!

Nak Dila, tolak warisannya ya

Bajingan!

Tuduhan dari keluarga Hisyam mengikutinya ketika Ia dan Hisyam kabur dari ruangan itu. Duduk di dalam mobil Hisyam pun, Adila masih terdiam mengingat apa yang baru terjadi. Dila nggak tau harus mulai dari mana, bahwa nenek meninggalkan semua hartanya untuk dia dan Hisyam atau bahwa nenek memberikan syarat kalau Ia harus menikah dengan Hisyam. Gila. Keluarga Suwardana sudah gila.

“Lo ngomong apa sih ke nenek?” Tuduh Hisyam.

“Gue udah bilang gue gak ada ngomong apa-apa ke nenek, gue gak pernah ada kontak sama nenek,” jawab Arin lemas, sudah nggak ada tenaga lagi untuk berargumen. Nggak, Arin masih memproses semuanya.

“Kita ke apartemen gue ya,” kata Hisyam, menyalakan mobilnya. “Gue sama Gibran udah janji ketemu untuk ngomongin ini. Contingency plans and what not.”

“Gue harus ke kantor.”

“Ya sama, gue juga,” balas Hisyam. “Gue anterin setelah lunch, cuti setengah hari kan?”

“Iya.”

“Ya udah,” Hisyam keluar dari parkiran gedung itu.

Lagi, tidak ada pembicaraan apapun di antara mereka sepanjang perjalanan ke apartemen Hisyam di bilangan Kuningan. Psikolognya, waktu Arin masih bisa ke psikolog, pernah bilang kalau Arin punya habit untuk langsung mencari solusi ketika nabrak tembok. Bahasa gen-Znya, Arin itu MBTInya T. Tapi kali ini Arin nggak bisa kepikiran juga harus ngapain, soalnya full harus memproses sebenernya apa yang baru terjadi.

“Lo harus banget nerima warisan itu.” Nada bicara Arin lebih seperti pernyataan, mengumpulkan fakta yang bisa Ia dapatkan. Kalau sampai sini sih, solusinya cuma menikah dengan Hisyam, tapi Arin nggak mau juga. “Kalau nggak, gimana?”

“Dinasti Suwardana hancur, most probably,” respon Hisyam. “Lo bakal seneng kalau itu terjadi, tentunya.”

“Uang kalian masih banyak di sumber lain, jadi gak sepuas itu juga,” aku Arin. “Kita kayaknya butuh suratnya nenek, deh, nanti Gibran bawa?”

“Bawa.”

“Okay,” Arin mengangguk, kembali terdiam. “Secara legal, emang nenek beneran bisa maksa kita nikah ya?”

“Bisa,” jawab Gibran ketika Arin menanyakan pertanyaan itu di ruang duduk apartemen Hisyam. “Tapi biasanya orang nggak akan mencantumkan syarat macam itu.”

Arin menghela napas panjang, “I see.”

“Ini surat dari nenek, tadi nggak sempet ngasih untuk kalian,” Gibran memberikan masing-masing dari mereka sepucuk surat. “Gue sama Bang Jun kayaknya hampir ditonjok sama om lo, Syam.”

“You knew they were insane,” balas Hisyam, membuka surat itu.

“Gue boleh baca in private nggak?” Tanya Arin.

“Balkon aja, Rin.”

“Okay,” Arin beranjak dari sofa dan keluar ke balkon apartemen Hisyam. Bukan tempat paling nyaman di Jakarta, keluar ke balkon di tengah kota seperti menyambut polusi untuk duduk bersamanya.

Well, beggars can’t be choosers.

Cucuku Arini,

Arin kaget ya, dapet surat ini dari nenek?

Nenek minta maaf ya, sayang, nggak bisa bantu kamu sepuluh tahun yang lalu. Ada banyak hal yang terjadi sepuluh tahun yang lalu, kalau nenek jelaskan jadi hanya cari alasan. Maafkan nenek ya, sayangku. Waktu nenek sudah dekat, tolong maafkan nenek.

Arini, Hisyam anak baik sekali. Nenek yakin keluarga kamu akan aman kalau sama Hisyam. Nenek yakin ini yang terbaik buat kalian berdua. Tolong turuti permohonan nenek yang ini ya, Arini, nenek hanya ingin melindungi kamu.

Yang terakhir, tolong bantu nenek ya. Arini dari kecil suka treasure hunt kan? Ada teka teki yang hanya bisa dipecahkan Arini dan Hisyam di kamar nenek, tapi kalian harus kerjasama. Tolong bantu nenek ya, sayang. Kalau bukan untuk nenek, buat ayah Arin.

Maafkan nenek ya, sayang. Maaf nenek nggak bisa berhubungan sama kamu. Anak-anak nenek jahat. Jahat sekali. Cuma kamu dan Hisyam harapan nenek.

Dengan sayang,

Rosita Suwardana

--

--